Laman

24 Mei, 2010

Jangan Berdiam saja Kalau Bukan Kami Siapa?
           
Balas Dendam, OPM Tembaki Aparat


2 TNI dan 2 Polisi Terluka
JAYAPURA-Diduga balas dendam atas tewasnya Werius Telenggen yang merupakan Komandan Regu TPN/OPM di wilayah Kampung Yambi, Distri Mulia, Puncak Jaya, yang tertembak oleh aparat gabungan TNI dan Polri beberapa waktu lalu, kelompok TPN/OPM mengamuk dengan menembaki aparat yang bertugas di Puncak Jaya pada Jumat (21/5) dan Sabtu (22/5).
Akibatnya, 2 anggota TNI dan 2 polisi mengalami luka tembak. Dua anggota TNI yang mengalami luka tembak itu adalah Lettu Inf. Agung Setia yang terkena tembakan di bagian lengan kanan dan Pratu Afrianto yang mengalami luka tembak di bagian pantat bagian belakang dan kondisinya kritis. Keduanya dari Satgas Pamrahwan Yonif 753/AVT yang bertugas di Pos Yambi, Distrik Mulia, Puncak Jaya.
Sedangkan 2 polisi yang mengalami luka tembak yaitu Bripda Seprianus Sahuleka yang mengalami luka tembak di bagian kaki kanan dan Kasat Samapta Polres Puncak Jaya, AKP Yeremias Rumawi yang luka di bagian lengan kiri dan dahi akibat terkena serpihan peluru. Sementara seorang polisi lagi bernama Iptu Hans Fairnap (mantan Danki Brimob Puncak Jaya) terkena tembak di bagian rompi belakang hingga pecah.
Aksi penembakan yang pertama dilakukan Jumat (21/5) sekitar pukul 19.30 WIT. Anggota TNI yang sedang bertugas di Pos Satgas Pamrahwan Yonif 753/AVT wilayah Yambi, Distrik Mulia mendapat gangguan dari kelompok bersenjata TPN/OPM itu.
Saat itu, anggota sedang melaksanakan pengamanan di sekitar pos, namun tiba-tiba dari 2 titik yaitu arah ketinggian sebelah selatan, tepatnya di bagian belakang pos yang berjarak 150 meter dan bagian utara tepatnya samping pos dengan jarak 100 meter dengan kondisi cuaca hujan dan berkabut sekelompok bersenjata menembaki aparat yang berada di pos itu.
Setelah menembaki pos, kemudian para pelaku langsung melarikan diri ke arah hutan, sehingga tidak bisa dikejar.
Kapolres Puncak Jaya, AKBP Alex Korwa saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Minggu (23/5) malam membenarkan peristiwa penembakan tersebut.
Menurutnya, anggota TNI yang sedang berada di dalam pos tersebut tiba-tiba dikagetkan dengan suara tembakan yang tepat mengarah ke pos, sehingga dua anggota pos terkena tembakan.
Disinggung apakah penembakan itu merupakan aksi balas dendam dari kelompok TPN/OPM pasca tewasnya Komandan Regu wilayah Yambi, Werius Telenggen beberapa waktu lalu? Kapolres mengungkapkan, hal itu bisa saja sebagai upaya balas dendam. “Kita menduga kuat kemungkinan itu. Mungkin aksi itu adalah aksi balas dendam dari mereka, karena beberapa waktu lalu kita menewaskan salah satu orang dari mereka," ujarnya.
Di tempat terpisah, Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Letkol Inf. Susilo saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos membenarkan peristiwa penembakan yang menimpa anggota Satgas Pamrahwan Yonif 753/AVT. "Ya benar memang ada 2 anggota kami yang terkena tembak oleh sekelompok Gerombolan Pengacau Keamanan di wilayah Puncak Jaya," ungkapnya.
Dikatakan, awalnya anggota itu sedang melaksanakan pengamanan pos, namun tiba-tiba ditembaki dari arah ketinggian. Saat itu kondisinya hujan dan berkabut.
Setelah itu, ada 2 anggota yang tertembak yaitu Lettu Inf. Agung Setia dan Pratu Afrianto. “Saat ini sudah berhasil dievakuasi ke Jayapura, meskipun sebelumnya proses evakuasi sempat gagal karena cuaca buruk. Kini keduanya sudah di RS Marten Indey untuk dirawat secara intensif. Sementara untuk proses pengejaran masih kami serahkan kepada polisi karena mereka masih pelaku-pelaku kriminal," terangnya.
Sementara pada Sabtu (22/5) sekitar pukul 12.30 WIT, aparat gabungan yang ingin mengevakuasi korban tertembak itu dari Pos Yambi terdiri dari anggota Polres Puncak Jaya, Densus 88, Yonif 753/AVT, Brimobda Polda Papua BKO Polres Puncak Jaya, juga ditembaki oleh sekelompok bersenjata yang berjarak sekitar 1,5 km dari pos.
Akibat rentetan tembakan itu, 3 orang anggota polisi terkena tembakan, yaitu Bripda Seprianus Sahuleka mengalami luka tembak di bagian kaki kanan, kemudian Kasat Samapta Polres Puncak Jaya, AKP. Yeremias Rumawi luka serpihan peluru pada bagian lengan kiri dan dahi, serta Iptu Hans Fairnap (mantan Danki Brimob Puncak Jaya) terkena tembak di bagian rompi belakang hingga pecah.
Meskipun ditembaki, namun aparat gabungan yang ingin melakukan evakuasi korban ini sempat melakukan perlawanan sehingga terjadi kontak senjata, namun akhirnya kelompok tersebut mundur dan melarikan diri ke arah hutan, sehingga proses evakuasi berhasil dilakukan.
Tepat sekitar pukul 17.40 tim evakuasi tiba di RSUD Mulia dan langsung ditangani oleh tim medis, dan pada Sabtu (22/5) pagi korban akan dievakuasi ke Jayapura sekitar pukul 08.30 dengan pesawat Trigana Air namun gagal karena cuaca buruk.
Meskipun tertunda sehari, proses evekuasi korban ke Jayapura akhirnya berhasil dilakukan Minggu (23/5) sekitar pukul 11.30 WIT. Tiga korban penembakan itu tiba di Makodam XVII/Cenderawasih dengan menggunakan Heli Puma milik TNI AD.
Mereka itu adalah Lettu Inf. Agung Setia dan Pratu Afrianto yang selanjutnya langsung dibawa ke RS Marten Indey dan seorang anggota Polres Puncak Jaya Bripda Seprinus Sahuleka langsung dibawa ke RS Bhayangkara.

18 Mei, 2010

Bintang Kejora Dikibarkan di HUT RI

Bintang Kejora Dikibarkan di HUT RI

'Forgotten Bird of Paradise' trailer - undercover documentary on indepen...



"Suarakan Dan Bebaskan Bagi Yang Tertindas Dan Perjuangkan Keadilan Untuk Perdamaian"

EU Parliamentarians support Free West Papua campaign on Vimeo xvid



"Suarakan Dan Bebaskan Bagi Yang Tertindas Dan Perjuangkan Keadilan Untuk Perdamaian"
Terkait kepentingan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), Walikota dan Wakil Kepala Daerah di Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga refresentatip masyarakat Papua di beri kewenang penuh untuk menjalankan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua). Sesuai dengan mandat yang di berikan, MRP bertugas memperjuangkan Hak-Hak rakyat Papua yang masih dianggap termarginalkan dalam amanat UU Otsus. Sejahu ini sejak UU Otsus di berlakukan, kini Otsus telah berumur sepuluh (10) Tahun, guna melindungi dan mengakomodir kepentingan rakyat Papua, MRP telah menysun draf rancangan UU Peraturan Khusus Daerah (Perdasi/Perdasus), namun Jakarta dengan tegas menolak rancangan tersebut. Alasan penolakan tersebut diklaim masih bersifat dikriminasi dan berpeluang menciptahkan lahan subur bagi kaum separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kecurigaan dan ketakutan Jakarta yang berlebihan mengindikasihkan kecurigaan rakyat Papua atas sepak terjang Jakarta di balik UU Otsus di Papua.

Kesalahan tersebut masih saja di praktekkan Jakarta melalui surat penolakan SK-MRP No. 14/2009 tentang perlindungan Hak-Hak politik rakyat Papua dalam pemilihan bakal calon Kepala Daerah Bupati/Walikota dan Wakil kepala daerah oleh rezim SBY-Boediono yang di mandatkan langsun kepada Kementrian Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi. Alasan penolakan tersubut masih saja menggunakan dalih-dalih lama (separatis, makar dan OPM), bahakan MRP masih saja di stigmanisasikan sebagai lembaga tempat perkumpulan pejabat dan masyarakat Papua separatis yang terstruktural dan sistematis. Paradigma lama Jakarta yang masih terus terkontaminasi dengan perkembangan dan legalitas UU Otsus membuktikan Jakarta GAGAL melindungi dan memberikan kebebasan dan kesempatan bagi rakyat Papua sebagaimana yang tertuang dalam amanat UU Otsus, Bab III, Pasal (1) tentang Hak-Hak politik rakyat Papua.

Jika di cermati secara seksama, UU Otsus lahir dari tuntutan rakyat Papua yang menginginkan kemerdekaan sepenuhnya sebagai Negara berdaulat dan merdeka terlepas dari rezim Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tuntutan kemerdekaan tersebut mempunyai bukti-bukti dasar kenegaraan yang kuat, sejak di proklamasihkan 1 Desember 1961 di Port Numbay (Jayapura), dengan penentuan atribut-atribut kenegaraan yang di tetapkan Dewan Legislatif Rakyat Papua ( Dewan Guenea Raad). Alasan tersebut mencuat setelah ketertindasan rakyat Papua di bawah kekejaman dan kekuasaan rezim Orde Baru (Soeharto) tumbang 1998. Pengambil alihan kekuasaan kembali jatuh ke tangan rezim reformasi penerus rezim Orde Baru, rakyat Papua di berikan opsi Otonomi Khusus sebagai solusi pemecahan kompleksitas permasalahan selama 45 Tahun terjajah. Lantas kini Otsus mempunyai kewenangan-kewenangan tersendiri dalam menempatkan rakyat Papua. Namun kewenagan dan Hak-Hak rakyat Papua yang tertuang dalam UU Otsus masih saja di bawah tekanan dan kemauan Jakarta.
Dengan demikian, kami Mahasiswa/I dan seluruh rakyat Papua yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-PAPUA) menyampaikan dukungan dan tuntutan politik sebagai berikut:
Dukungan Politik:

1. Mendukung Penuh, SK – MRP No. 14/2009, tentang penetapan calon Bupati/Wakil Bupati/Walikota adalah orang asli Papua, sesuai amanat UU No. 21/2001 (Otsus Papua) yang di atur dalam Bab III, Pasal (1) mengenai jaminan dan perlindungan Hak-hak politik rakyat Papua.

2. Mendukung Penuh, pembentukan Pansus DPR-Papua, sesuai mandate SK – MRP No. 14/2009 sebagai pengawal pembentukan draf UU Pemilukada di seluruh tanah Papua.
Tuntutan Politik:

1. Menolak dengan tegas, intervensi Jakarta, melalui lembaga Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) yang dengan sewenang-wenang menolak SK-MRP No. 14/2009 tanpa mempedulihkan Hak-Hak rakyat Papua, sebab sikap Mendagri adalah pengkhianatan terhadap amanat UU Otsus Papua.

2. Mendesak pemerintah Indonesia, dalam waktu 60 hari, terhitung dari tanggal 1 Mei 2010 segera mengeluarkan draf UU Pemilukada sebagai pelaksanaan SK MRP No. 14/2009.


3. Menuntut realisasi amanat UU No. 21/2001, Bab III, Pasal 1 (Otsua Papua), tentang pengawasan dan perlindungan Hak-Hak politik rakyat Papua secara transparan, mandiri dan demokratis.

4. Tolak rencana Pemerintahaan SBY-Boediono mengirim Transmigrasi ke Tanah Papua, karena syarat dengan muatan politik aduh domba.

5. Menyeruhkan kepada seluruh rakyat Papua, bersiap-siap untuk lakukan konsolidasi menyeluruh untuk kepentingan mobilisasi, Jika pada poin (1), (2), (3) dan (4) tidak di gubris oleh Jakarta, maka bersiap-sialah untuk melakukan mogok sipil nasional dengan kegiatan melumpuhkan semua aktifitas pemerintahaan dengan turun jalan, Bubarkan Majelis Rakyat Papua (MRP) boneka SBY yang tidak di akui legalitasnya, Hapuskan UU No. 21/2001 (Otsus Papua) titipan neoliberalisme. Bentuk panitia persiapan pemerintahan darurat pro rakyat Papua.

Demikian, bentuk dukungan dan tuntutan politik ini kami buat sebagai Badan Eksekutif Mahasiswa indepneden, tanpa ada kepentingan apapun selain kepentingan rakyat.

17 Mei, 2010

Seruan Aksi Nasional Papua

Baru – baru ini telah di kabarkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi yang telah mengirimkan surat kepada Majelis Rakyat Papua [MRP] agar membatalkan Keputusan SK-MRP Nomor: 14 Tahun 2009 yang menyebutkan kepala daerah di Papua harus orang asli Papua. Alasan pengiriman surat pembatalan di klaim Gamawan Fauzi mengadung azas diskriminasi terhadap warga Non-Papua. Selain mengandung azas diskriminasi, Fauzi menyebut pejabat Papua pribumi di curigai sebagai gembong separatis yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan dalam debat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR-RI, MRP dianggap sebagai lembaga kultur perkumpulan gembong-gembong separatis yang terstruktur guna mengakomodir kepentingan elit pejabat dan masyarakat Papua yang nota benenya adalah warga Negara separatis yang mengancam

kedaulatan NKRI.

Alasan stegmen politik di atas diperkuat dengan UU No. 21 Tahun 2001 yang menyebutkan, MRP hanya bisa memberikan pertimbangan terhadap pemilihan Bupati dan Walikota sebab sesungguhnya MRP tidak memiliki kewenangan penuh dalam memutuskan Hak-Hak dasar politik rakyat Papua karena kewenangan (UU) No. 21/2001(Otsus Papua) adalah kewenangan Jakarta yang sepenuhnya harus di jalankan sesuai UUD 45 dengan persetujuan Jakarta. Hal serupa di perkuat dengan stegmen politik anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Gusti Putu Artha yang mengatakan, pendapat hukum yang nantinya dikeluarkan oleh MA sangat penting karena akan menjadi sinkronisasi yu¬ridis antara dua produk hukum yang berbeda tafsir, yaitu SK MRP Nomor 14 Tahun 2009 yang di anggap Ilegal dan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua yang merupakan kewenangan Jakarta.

Otonomi Versi Soekarno

Jika kita cermati kembali, sejak rezim orde lama (Soekarno 1965) berkuasa, rakyat Papua di beri kewenangan mengatur pemerintahaannya sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969, tentang pembentukan Provinsi otonomi Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten otonom di Provinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907). Otonomi bagi Papua lahir atas idealisme Soekarno yang menjanjikan pemerintahan sendiri bagi rakyat Papua, dengan catatan wilayah Papua masuk sebagai wilayah integral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). UU No. 12/1969 Otonomi Irian Barat lahir guna perlindungan dan pemenuhan bagi jaminan Hak-Hak politik masyarakat asli Papua. Realisasi UU Otonomi tersebut berubah wujud sebagai liang pemusnahaan etnis (genoside). Legalitas lembaga militer Indonesia di beri kewenangan sepenuhnya menjalankan amanat UU Otonomi versus Soekarno melalui operandi khusus “ABRI Masuk Desa” hingga orde lama (Soekarno) tumbang, orde baru (Soeharto) kembali mewarisi tahkta kerajaan Soekarno dan menetapkan Papua sebagai wilayah Daerah Operasi Militer (DOM) Otonomi berubah menjadi lautan darah.
Sikap rezim otoriter militeristik (Soekarno-Soeharto) sama-sama menunjukan kegigihannya dalam mempertahankan Papua sebagai bagian integral NKRI Harga Mati, ketakutan dan kecurigaan menjadi Undang-Undang pertimbangan dalam pengambilan keputusan, bayangkan deklarasi UU Otonomi hanyalah isapan jempol tuan-tuan pendiri negara Funding Fathers NKRI, sedangkan bumi, air, hutan dan tanah di jarah atas nama pembangunan dan Hak Asasi Manusia. Deklarasi pengakuan UU No. 12/1969 Otonomi bagi Irian Barat merupakan bentuk penjajahan terstruktur yang menggilimingkan tetesan air mata darah. Antagonis NKRI yang melahirkan anak-anak durhaka di negeri bedebah cukup kejam dalam menempatkan rakyat Papua sebagai manusia-manusia separatis.


Kontroversi UU Otsus Versi Jakarta.

Dikeluarkannya produk UU No. 21/2001(Otsus Papua) bagi rakyat Papua, yang bersamaan dengan pembentukan lembaga MRP sebagai lembaga kultur rakyat Papua disterilkan legalitasnya sebagai lembaga refresentativ, tugas dan wewenang MRP adalah menjalankan amanat UU Otsus dan memperjuangkan Hak-hak politik rakyat Papua dalam bingkai Otsus. Sejarah lahirnya UU Otsus bagian dari rekonsiliasi program pembangunan Jakarta yang telah terkuburkan selama 40 Tahun di Papua. Jakarta menjalankan paket UU Otsus merupakan agenda titipan kapitalis yang di reduksi melalui praktek sistem UU ekonomi neoliberal. Ketakutan Jakarta bagian dari ketakutan neolib yang tetap mempertahankan Papua sebagai bagian integral NKRI.
Paradigma lama kembali mengungkapkan keinginan Jakarta dalam memposisikan Papua sebagai anak tiri, sikap keangkuhan Jakarta sejak rezim berganti rezim masih terus di pertahankan, kenyataan membuktikan dengan sikap otoriter rezim SBY – Boediono melalui anteknya Gamawan Fauzi (Mendagri) yang dengan serta merta memprotes SK MRP No. 14/2009 tentang ketetapan bakal calon kandidat Bupati/Walikota adalah orang asli Papua. Mengerikan, sikap Jakarta yang tetap monoton mempraktekan watak asli orde baru, rezim SBY-Boediono dalam hal ini Gamawan Fauzi menjadikan lembaga Mendagri sebagai lembaga mafia hukum yang tidak konsisten terhadap amanat UU Otsus dan mengakui MRP sebagai lembaga refresentativ aspirasi rakyat Papua.
Dukungan dan Sikap Politik

Dukungan Dan Sikap Politik:

1. Mendukung Penuh, SK – MRP No. 14/2009, tentang penetapan calon Bupati/Wakil Bupati/Walikota adalah orang asli Papua, sesuai amanat UU No. 21/2001 (Otsus Papua) yang di atur dalam Bab III, Pasal (1) mengenai jaminan dan perlindungan Hak-hak politik rakyat Papua.

2. Mendukung Penuh, pembentukan Pansus DPR-Papua, sesuai mandate SK – MRP No. 14/2009 sebagai pengawal pembentukan draf UU Pemilukada di seluruh tanah Papua.
Menyatakan Sikap:

1. Menolak dengan tegas, intervensi Jakarta, melalui lembaga Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) yang dengan sewenang-wenang menolak SK-MRP No. 14/2009 tanpa mempertimbangkan perngakat hukum, sebab sikap Mendagri adalah pengkhianatan terhadap amanat UU Otsus Papua.

2. Mendesak pemerintah Indonesia, dalam waktu 60 hari, terhitung dari tanggal 1 Mei 2010 segera mengeluarkan draf UU Pemilukada sebagai pelaksanaan SK MRP No. 14/2009.


3. Menuntut realisasi amanat UU No. 21/2001, Bab III, Pasal 1 (Otsua Papua), tentang pengawasan dan perlindungan Hak-Hak politik rakyat Papua.

4. Menyeruhkan kepada seluruh rakyat Papua, bersiap-siap untuk lakukan konsolidasi menyeluruh untuk kepentingan mobilisasi, Jika pada poin (1), (2) dan (3) tidak di gubris oleh Jakarta, lakukan mogok sipil nasional dengan kegiatan lumpuhkan aktifitas pemerintahaan dengan turun jalan, Bubarkan Majelis Rakyat Papua (MRP) boneka SBY, Hapuskan UU No. 21/2001 (Otsus Papua) titipan neolib. Bentuk panitia persiapan pemerintahan darurat pro rakyat Papua.

05 Mei, 2010



"Suarakan Dan Bebaskan Bagi Yang Tertindas Dan Perjuangkan Keadilan Untuk Perdamaian"


WAMENA, SENIN – Pangdam Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Azmyn Yusri Nasution setelah dilantik KSAD Jenderal TNI Agustadi SP pada Selasa (19/8) melakukan kunjungan kerja perdana ke Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Dari Wamena, Senin (25/8), Antara melaporkan, Pangdam Cenderawasih, Mayjen TNI Nasution setibanya di Wamena dari Jayapura dengan menumpang pesawat komersial Trigana Air langsung dijemput para petinggi TNI dan Polri serta unsur pimpinan daerah di wilayah itu.

Setelah beritirahat sejenak, Pangdam Nasution langsung mengunjungi prajurit TNI yang bertugas di Kodim Wamena, Markas Yonif 756/WMS, Pos rahwan Napua 756 dan Pos Rahwan Walesi 756.

Setiap bertemu dan bertatap muka dengan prajurit TNI yang bertugas di wilayah ini, Pangdam Mayjen TNI Azmyn Yusri Nasution mengajak para prajurit agar membangun iklim persaudaraan dengan masyarakat di wilayah Pegunungan Tengah Papua.

“Saya baru saja dilantik KSAD pada 19 Agustus lalu dan Wamena merupakan kota pertama saya melakukan kunjungan kerja. Itu berarti, Wamena menjadi pusat perhatian kami lantaran wilayah ini sebagai salah satu pusat kebudayaan asli Papua,” katanya.

Dia mengakui kalau banyak orang sering mengatakan bahwa Wamena merupakan jantungnya tanah Papua dan apabila datang ke Papua namun belum menginjakkan kaki di Wamena maka itu berarti belum datang ke tanah Papua.

“Setiap prajurit wajib membangun jalinan persaudaraan dengan masyarakat asli Papua dan menghargai budaya asli Papua sebagai bagian integral dari kebudayaan Nasional Indonesia. Setiap prajurit wajib menjadikan masyarakat Papua sebagai orangtua mereka sendiri di medan tugas,” kata Pangdam Nasution.

Setiap komandan satuan TNI di tanah Papua hendaknya tidak hanya pintar berbicara tetapi juga pintar membangun relasi persahabatan dan persaudaraan dengan masyarakat asli Papua.

Komandan satuan harus dapat menjadi teladan bagi anak buahnya dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjalin kerja sama konstruktif dengan semua lapisan masyarakat di wilayah ini.

“Hargailah tradisi dan budaya masyarakat asli Papua. Bangunlah kerja sama dengan semua komponen masyarakat tanpa membeda-bedakan suku,agama, ras dan golongan. Kita semua bersaudara sebagai anak-anak sebangsa dan setanah air Indonesia,” katanya.