Laman

18 Mei, 2010

Bintang Kejora Dikibarkan di HUT RI

Bintang Kejora Dikibarkan di HUT RI

'Forgotten Bird of Paradise' trailer - undercover documentary on indepen...



"Suarakan Dan Bebaskan Bagi Yang Tertindas Dan Perjuangkan Keadilan Untuk Perdamaian"

EU Parliamentarians support Free West Papua campaign on Vimeo xvid



"Suarakan Dan Bebaskan Bagi Yang Tertindas Dan Perjuangkan Keadilan Untuk Perdamaian"
Terkait kepentingan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), Walikota dan Wakil Kepala Daerah di Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga refresentatip masyarakat Papua di beri kewenang penuh untuk menjalankan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus Papua). Sesuai dengan mandat yang di berikan, MRP bertugas memperjuangkan Hak-Hak rakyat Papua yang masih dianggap termarginalkan dalam amanat UU Otsus. Sejahu ini sejak UU Otsus di berlakukan, kini Otsus telah berumur sepuluh (10) Tahun, guna melindungi dan mengakomodir kepentingan rakyat Papua, MRP telah menysun draf rancangan UU Peraturan Khusus Daerah (Perdasi/Perdasus), namun Jakarta dengan tegas menolak rancangan tersebut. Alasan penolakan tersebut diklaim masih bersifat dikriminasi dan berpeluang menciptahkan lahan subur bagi kaum separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kecurigaan dan ketakutan Jakarta yang berlebihan mengindikasihkan kecurigaan rakyat Papua atas sepak terjang Jakarta di balik UU Otsus di Papua.

Kesalahan tersebut masih saja di praktekkan Jakarta melalui surat penolakan SK-MRP No. 14/2009 tentang perlindungan Hak-Hak politik rakyat Papua dalam pemilihan bakal calon Kepala Daerah Bupati/Walikota dan Wakil kepala daerah oleh rezim SBY-Boediono yang di mandatkan langsun kepada Kementrian Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi. Alasan penolakan tersubut masih saja menggunakan dalih-dalih lama (separatis, makar dan OPM), bahakan MRP masih saja di stigmanisasikan sebagai lembaga tempat perkumpulan pejabat dan masyarakat Papua separatis yang terstruktural dan sistematis. Paradigma lama Jakarta yang masih terus terkontaminasi dengan perkembangan dan legalitas UU Otsus membuktikan Jakarta GAGAL melindungi dan memberikan kebebasan dan kesempatan bagi rakyat Papua sebagaimana yang tertuang dalam amanat UU Otsus, Bab III, Pasal (1) tentang Hak-Hak politik rakyat Papua.

Jika di cermati secara seksama, UU Otsus lahir dari tuntutan rakyat Papua yang menginginkan kemerdekaan sepenuhnya sebagai Negara berdaulat dan merdeka terlepas dari rezim Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tuntutan kemerdekaan tersebut mempunyai bukti-bukti dasar kenegaraan yang kuat, sejak di proklamasihkan 1 Desember 1961 di Port Numbay (Jayapura), dengan penentuan atribut-atribut kenegaraan yang di tetapkan Dewan Legislatif Rakyat Papua ( Dewan Guenea Raad). Alasan tersebut mencuat setelah ketertindasan rakyat Papua di bawah kekejaman dan kekuasaan rezim Orde Baru (Soeharto) tumbang 1998. Pengambil alihan kekuasaan kembali jatuh ke tangan rezim reformasi penerus rezim Orde Baru, rakyat Papua di berikan opsi Otonomi Khusus sebagai solusi pemecahan kompleksitas permasalahan selama 45 Tahun terjajah. Lantas kini Otsus mempunyai kewenangan-kewenangan tersendiri dalam menempatkan rakyat Papua. Namun kewenagan dan Hak-Hak rakyat Papua yang tertuang dalam UU Otsus masih saja di bawah tekanan dan kemauan Jakarta.
Dengan demikian, kami Mahasiswa/I dan seluruh rakyat Papua yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-PAPUA) menyampaikan dukungan dan tuntutan politik sebagai berikut:
Dukungan Politik:

1. Mendukung Penuh, SK – MRP No. 14/2009, tentang penetapan calon Bupati/Wakil Bupati/Walikota adalah orang asli Papua, sesuai amanat UU No. 21/2001 (Otsus Papua) yang di atur dalam Bab III, Pasal (1) mengenai jaminan dan perlindungan Hak-hak politik rakyat Papua.

2. Mendukung Penuh, pembentukan Pansus DPR-Papua, sesuai mandate SK – MRP No. 14/2009 sebagai pengawal pembentukan draf UU Pemilukada di seluruh tanah Papua.
Tuntutan Politik:

1. Menolak dengan tegas, intervensi Jakarta, melalui lembaga Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) yang dengan sewenang-wenang menolak SK-MRP No. 14/2009 tanpa mempedulihkan Hak-Hak rakyat Papua, sebab sikap Mendagri adalah pengkhianatan terhadap amanat UU Otsus Papua.

2. Mendesak pemerintah Indonesia, dalam waktu 60 hari, terhitung dari tanggal 1 Mei 2010 segera mengeluarkan draf UU Pemilukada sebagai pelaksanaan SK MRP No. 14/2009.


3. Menuntut realisasi amanat UU No. 21/2001, Bab III, Pasal 1 (Otsua Papua), tentang pengawasan dan perlindungan Hak-Hak politik rakyat Papua secara transparan, mandiri dan demokratis.

4. Tolak rencana Pemerintahaan SBY-Boediono mengirim Transmigrasi ke Tanah Papua, karena syarat dengan muatan politik aduh domba.

5. Menyeruhkan kepada seluruh rakyat Papua, bersiap-siap untuk lakukan konsolidasi menyeluruh untuk kepentingan mobilisasi, Jika pada poin (1), (2), (3) dan (4) tidak di gubris oleh Jakarta, maka bersiap-sialah untuk melakukan mogok sipil nasional dengan kegiatan melumpuhkan semua aktifitas pemerintahaan dengan turun jalan, Bubarkan Majelis Rakyat Papua (MRP) boneka SBY yang tidak di akui legalitasnya, Hapuskan UU No. 21/2001 (Otsus Papua) titipan neoliberalisme. Bentuk panitia persiapan pemerintahan darurat pro rakyat Papua.

Demikian, bentuk dukungan dan tuntutan politik ini kami buat sebagai Badan Eksekutif Mahasiswa indepneden, tanpa ada kepentingan apapun selain kepentingan rakyat.

17 Mei, 2010

Seruan Aksi Nasional Papua

Baru – baru ini telah di kabarkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi yang telah mengirimkan surat kepada Majelis Rakyat Papua [MRP] agar membatalkan Keputusan SK-MRP Nomor: 14 Tahun 2009 yang menyebutkan kepala daerah di Papua harus orang asli Papua. Alasan pengiriman surat pembatalan di klaim Gamawan Fauzi mengadung azas diskriminasi terhadap warga Non-Papua. Selain mengandung azas diskriminasi, Fauzi menyebut pejabat Papua pribumi di curigai sebagai gembong separatis yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan dalam debat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR-RI, MRP dianggap sebagai lembaga kultur perkumpulan gembong-gembong separatis yang terstruktur guna mengakomodir kepentingan elit pejabat dan masyarakat Papua yang nota benenya adalah warga Negara separatis yang mengancam

kedaulatan NKRI.

Alasan stegmen politik di atas diperkuat dengan UU No. 21 Tahun 2001 yang menyebutkan, MRP hanya bisa memberikan pertimbangan terhadap pemilihan Bupati dan Walikota sebab sesungguhnya MRP tidak memiliki kewenangan penuh dalam memutuskan Hak-Hak dasar politik rakyat Papua karena kewenangan (UU) No. 21/2001(Otsus Papua) adalah kewenangan Jakarta yang sepenuhnya harus di jalankan sesuai UUD 45 dengan persetujuan Jakarta. Hal serupa di perkuat dengan stegmen politik anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), I Gusti Putu Artha yang mengatakan, pendapat hukum yang nantinya dikeluarkan oleh MA sangat penting karena akan menjadi sinkronisasi yu¬ridis antara dua produk hukum yang berbeda tafsir, yaitu SK MRP Nomor 14 Tahun 2009 yang di anggap Ilegal dan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua yang merupakan kewenangan Jakarta.

Otonomi Versi Soekarno

Jika kita cermati kembali, sejak rezim orde lama (Soekarno 1965) berkuasa, rakyat Papua di beri kewenangan mengatur pemerintahaannya sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969, tentang pembentukan Provinsi otonomi Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten otonom di Provinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907). Otonomi bagi Papua lahir atas idealisme Soekarno yang menjanjikan pemerintahan sendiri bagi rakyat Papua, dengan catatan wilayah Papua masuk sebagai wilayah integral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). UU No. 12/1969 Otonomi Irian Barat lahir guna perlindungan dan pemenuhan bagi jaminan Hak-Hak politik masyarakat asli Papua. Realisasi UU Otonomi tersebut berubah wujud sebagai liang pemusnahaan etnis (genoside). Legalitas lembaga militer Indonesia di beri kewenangan sepenuhnya menjalankan amanat UU Otonomi versus Soekarno melalui operandi khusus “ABRI Masuk Desa” hingga orde lama (Soekarno) tumbang, orde baru (Soeharto) kembali mewarisi tahkta kerajaan Soekarno dan menetapkan Papua sebagai wilayah Daerah Operasi Militer (DOM) Otonomi berubah menjadi lautan darah.
Sikap rezim otoriter militeristik (Soekarno-Soeharto) sama-sama menunjukan kegigihannya dalam mempertahankan Papua sebagai bagian integral NKRI Harga Mati, ketakutan dan kecurigaan menjadi Undang-Undang pertimbangan dalam pengambilan keputusan, bayangkan deklarasi UU Otonomi hanyalah isapan jempol tuan-tuan pendiri negara Funding Fathers NKRI, sedangkan bumi, air, hutan dan tanah di jarah atas nama pembangunan dan Hak Asasi Manusia. Deklarasi pengakuan UU No. 12/1969 Otonomi bagi Irian Barat merupakan bentuk penjajahan terstruktur yang menggilimingkan tetesan air mata darah. Antagonis NKRI yang melahirkan anak-anak durhaka di negeri bedebah cukup kejam dalam menempatkan rakyat Papua sebagai manusia-manusia separatis.


Kontroversi UU Otsus Versi Jakarta.

Dikeluarkannya produk UU No. 21/2001(Otsus Papua) bagi rakyat Papua, yang bersamaan dengan pembentukan lembaga MRP sebagai lembaga kultur rakyat Papua disterilkan legalitasnya sebagai lembaga refresentativ, tugas dan wewenang MRP adalah menjalankan amanat UU Otsus dan memperjuangkan Hak-hak politik rakyat Papua dalam bingkai Otsus. Sejarah lahirnya UU Otsus bagian dari rekonsiliasi program pembangunan Jakarta yang telah terkuburkan selama 40 Tahun di Papua. Jakarta menjalankan paket UU Otsus merupakan agenda titipan kapitalis yang di reduksi melalui praktek sistem UU ekonomi neoliberal. Ketakutan Jakarta bagian dari ketakutan neolib yang tetap mempertahankan Papua sebagai bagian integral NKRI.
Paradigma lama kembali mengungkapkan keinginan Jakarta dalam memposisikan Papua sebagai anak tiri, sikap keangkuhan Jakarta sejak rezim berganti rezim masih terus di pertahankan, kenyataan membuktikan dengan sikap otoriter rezim SBY – Boediono melalui anteknya Gamawan Fauzi (Mendagri) yang dengan serta merta memprotes SK MRP No. 14/2009 tentang ketetapan bakal calon kandidat Bupati/Walikota adalah orang asli Papua. Mengerikan, sikap Jakarta yang tetap monoton mempraktekan watak asli orde baru, rezim SBY-Boediono dalam hal ini Gamawan Fauzi menjadikan lembaga Mendagri sebagai lembaga mafia hukum yang tidak konsisten terhadap amanat UU Otsus dan mengakui MRP sebagai lembaga refresentativ aspirasi rakyat Papua.
Dukungan dan Sikap Politik

Dukungan Dan Sikap Politik:

1. Mendukung Penuh, SK – MRP No. 14/2009, tentang penetapan calon Bupati/Wakil Bupati/Walikota adalah orang asli Papua, sesuai amanat UU No. 21/2001 (Otsus Papua) yang di atur dalam Bab III, Pasal (1) mengenai jaminan dan perlindungan Hak-hak politik rakyat Papua.

2. Mendukung Penuh, pembentukan Pansus DPR-Papua, sesuai mandate SK – MRP No. 14/2009 sebagai pengawal pembentukan draf UU Pemilukada di seluruh tanah Papua.
Menyatakan Sikap:

1. Menolak dengan tegas, intervensi Jakarta, melalui lembaga Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) yang dengan sewenang-wenang menolak SK-MRP No. 14/2009 tanpa mempertimbangkan perngakat hukum, sebab sikap Mendagri adalah pengkhianatan terhadap amanat UU Otsus Papua.

2. Mendesak pemerintah Indonesia, dalam waktu 60 hari, terhitung dari tanggal 1 Mei 2010 segera mengeluarkan draf UU Pemilukada sebagai pelaksanaan SK MRP No. 14/2009.


3. Menuntut realisasi amanat UU No. 21/2001, Bab III, Pasal 1 (Otsua Papua), tentang pengawasan dan perlindungan Hak-Hak politik rakyat Papua.

4. Menyeruhkan kepada seluruh rakyat Papua, bersiap-siap untuk lakukan konsolidasi menyeluruh untuk kepentingan mobilisasi, Jika pada poin (1), (2) dan (3) tidak di gubris oleh Jakarta, lakukan mogok sipil nasional dengan kegiatan lumpuhkan aktifitas pemerintahaan dengan turun jalan, Bubarkan Majelis Rakyat Papua (MRP) boneka SBY, Hapuskan UU No. 21/2001 (Otsus Papua) titipan neolib. Bentuk panitia persiapan pemerintahan darurat pro rakyat Papua.